DEEP TUNNEL ATAU DEEP RESERVOIR?

BERBAGAI solusi untuk mengatasi banjir DKI Jakarta masih terus dipikirkan. Saat ini sedang dilakukan kajian Terowongan Raksasa Bawah Tanah (Deep Tunnel) yang merupakan gabungan dari gagasan 5 terowongan lain di dunia. (sumber : yahoo.com)

Mari kita secara sederhana  juga ikut melakukan kajian tentang rencana terowongan ini dilihat dari sisi teknis –tidak perlu terlalu AHLI untuk memahami penjelasan sederhana berikut–. Berikut asumsi-asumsi yang bisa kita gunakan.

  1. Mengacu pada asumsi jumlah air yang jatuh di wilayah DKI jakarta pada tanggal 17 Januari 2013, maka jumlah air yang jatuh pada satu hari itu sebesar 60 juta m3, atau rata-rata setiap jam nya 2,5 juta m3 (sumber.: watsanindo)
  2. Deep/Smart Tunnel ini akan dibentangkan dari Cawang di timur Jakarta, menuju Pluit di utara Jakarta mengikuti jalan utama MT Haryono-Gatot Subroto sepanjang kurang lebih 19 km (sumber : merdeka.com).
  3. Diameter Deep Tunnel direncanankan 16 m, sumber : kompas.com (catatan : diameter Deep Tunnel KL, Malaysia adalah 13.2 m [sumber : roadtraffic-tecnology.com] )

Dengan asumsi diatas, didapat volume deep tunnel adalah : luas penampang x panjang tunnel = 1/4 x 3.14 x (16m)2 x 19 km = 3,8 juta m3. Artinya seandainya deep tunnel itu berhasil di bangun, maka saluran itu akan sanggup menampung air sebanyak 3,8 juta m3 (volume ini cukup untuk menampung air hujan 17 Januari 2013 hanya untuk 1,5  jam saja)

Persoalannya adalah, kemana 3,8 juta m3 air itu selanjutnya? apakah akan terus menerus diam memenuhi deep tunnel tersebut? Tentu tidak, karena rencananya 10 km dari total 19 km deep tunnel (52%) itu akan juga digunakan oleh utilitas lain seperti halnya MRT atau jalan tol (SMART di KL sepanjang 9,7 km hanya dimanfaatkan 4 km nya sebagai jalan raya [41%]).

Deep tunnel ini “bermuara” di Pluit, tentu air yang mengalir melalui Deep tunnel itu tidak secara otomatis meluncur keluar ke waduk pluit/laut secara gravitasi. (level cawang hingga pluit adalah 24 m, dengan jarak 19 km, dengan kemiringan 0.12 %)

Dengan situasi tersebut, diperlukan barisan pompa dengan kekuatan 3,8 juta m3 per jam atau 1  juta liter per detik.

Sekali lagi, diperlukan Pompa dengan kekuatan yang luar biasa, untuk menyedot air dari Deep tunnel tersebut. Kekuatan dan kemampuan pompa dapat terganggu akibat “mampet” oleh lumpur, sampah dan barang padat lain yang layaknya yang kita temui di sungai-sungai di Jakarta, maka deep tunnel kebanggaan kita harus terus menerus dipenuhi air dan jalan tol dan utilitas lain di dalamnya harus ikut tidak berfungsi.

Para investor yang tertarik menanamkan modalnya –pada proyek jalan raya, MRT, kabel telepon, Pipa air minum–,  yang ada di dalam deep tunnel ini tentu tidak ingin berlama-lama menunggu terowongan hingga kering. Jadi perlu dipikirkan sejak awal bagaimana mengantisipasi ini.

Penggunaan energi yang sedang diupayakan penghematannya yaitu listrik juga harus terus menerus berfungsi baik untuk memastikan pompa bekerja selama proses “menguras” isi deep tunnel.

Persoalan belum berhenti. Pada saat datang situasi bersamaan, yaitu curah hujan tinggi dan pasang laut purnama, yang terjadi adalah air yang dipompakan dari deep tunnel untuk dibuang ke laut, akan “luber” kembali ke daratan, sebagian juga mungkin masuk lagi ke deep tunnel.

Lalu bagaimana? Mungkin gagasan perlu disesuaikan untuk Jakarta, perlu ada kajian apakah yang harus dibangun adalah DEEP RESERVOIR (baca : watsanindo), sebuah tandon raksasa yang bisa menampung air banjir semua masuk ke dalam tanah. Kemudian pada kondisi normal, sedikit demi sedikit dipompakan lagi ke permukaan tanah, dialirkan ke sungai-sungai atau sebagai sumber air bersih bagi penduduk DKI Jakarta (bila perlu di “treatment” terlebih dahulu). Selanjutnya tetap harus dipikirkan adalah membersihkan “reservoar raksasa” kita itu dari sampah dan endapan lumpur.

Kajian ringkas terhadap dalam gagasan besar di atas selalu menyertakan: Sampah. Mungkin solusi ampuh, dengan resiko yang lebih minimal dibanding berbagai rekayasa teknis tadi adalah: mengupayakan program kali bersih yang sungguh-sungguh agar aliran air tidak tertahan sampah.

Wacana pemindahan Ibukota juga mungkin akan menjadi solusi karena berdampak pada pembangunan Indonesia secara nasional yang secara tidak langsung menyebabkan masyarakat pendatang mungkin ikut pindah mencari rejeki di Ibukota yang baru.***

5 responses to “DEEP TUNNEL ATAU DEEP RESERVOIR?

  1. alyssa_harding

    Lantas, apakah ide-ide sederhana seperti pembuatan biopori dan sumur resapan tak bisa diimplementasikan untuk mengurangi banjir di Jakarta? Soalnya, ide-ide sederhana belum tentu buruk, walaupun harganya murah meriah dan gampang dikerjakan. Kenapa demikian? Untuk kasus Jakarta, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, apakah pembangunan deep tunnel cocok di Jakarta yang secara geologis tanahnya lembek dan berpasir? Tanah di KL tersusun dari batuan beku bekas magma yang keras, sedangkan tanah Jakarta tersusun dari endapan lumpur dan pasir bekas delta sejumlah sungai. Sampai di sini saja, orang harus berpikir jauh, mana yang lebih cocok: sumur resapan atau gorong-gorong raksasa?

  2. Dua-duanya diperlukan, dua2 nya memerlukan biaya besar. Jika kita punya sumber daya besar, lakukan keduanya. Jika tidak, hulu harus diprioritaskan, bukan hilirnya 🙂

  3. Penanganan di Hulu = Padat Karya
    Penanganan di Hilir = Padat Modal

  4. Pingback: YUK HITUNG-HITUNG MEMBANGUN DEEP RESERVOIR | WATER & SANITATION

  5. Pemikiran yang baik. Asumsi saya penulis adalah engineer. Demikian juga dengan pemikiran deep tunnel yang beredar sekarang disuarakan kembali (karena bukan ide baru) oleh seorang engineer. Jadi ini adalah ‘perang’ antara perekayasa yang satu dengan perekayasa yang lain. Bagaimanapun debat ini sangat bermanfaat untuk mencari solusi yang terbaik. Sudah kodratnya perekayasa, untuk selalu memikirkan solusi yang sifatnya rekayasa, cenderung infrastruktur dan menggunakan teknis ‘terbaru’. Para engineer cenderung ‘mengatasi’ masalahnya dari pada ‘menangani penyebab’ masalahnya.
    Seperti juga kasus banjir Jakarta ini, pemikiran yang beredar saat ini cenderung berfokus pada mengatasi akibat dari masalah yang terjadi di hilir. Sedangkan sebab dari masalah yang terjadi di hulu, tidak memperoleh pemikiran yang seimbang.
    Mengapa begitu? Saya membayangkan,menangani penyebab masalah di hulu, tidaklah ‘seseksi’ daripada mengatasi masalah di hilir. Di hilir melibatkan teknis rekayasa yang canggih (deep tunnel, deep reservoir), sifatnya sangat engineering, relatif cepat proyeknya, cenderung proyek mercusuar. Sedangkan menangani masalah di hulu? Sangat kompleks, melibatkan ilmu multi disiplin, perlu waktu panjang, keuleten dan konsistensi. Sesuatu yang kita tidak banyak memilikinya.
    Padahal menurut hemat saya, betapapun canggihnya penyelesaiaj di hilir, tidak ada artinya apapun jika hulu nya dibiarkan begitu saja atau bahkan dibiarkan tidak tertangani.
    Kita haurs berani “back to basic”. Kembali ke pengetahuan dasar, yang bahkan telah kita ajarkan kepada anak-anak kita di tingkat sekolah dasar. Banjir terjadi karena hutan ditebang habis. Setiap penanganan sebab masalah harus kembali ke kalimat dasar itu. DAS harus dipulihkan, tegakkan aturan yang ada, terapkan konsisten. Sanggupkah kita kembali ke dasar? Bagaimana kita akan menerapkan teknologi rekayasa canggih, jika pendekatan yang paling sederhanapun, kita gagal total melaksanakannya dengan disiplin dan konsisten?

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.